Arsip Blog

Bukankah itu CINTA


Aku tak tahu kapan cerita ini dimulai, yang aku tahu adalah ketika aku benar-benar merasakan kehangatan suasana saat bersamamu. Tiada angin yang berhembus sepoi, tiada musik yang seketika berubah, atau cerita lainnya seperti saat seorang sedang dalam suasana cinta pada sebuah fiksi perfilman. Dan yang benar-benar aku rasakan adalah takkan aku biarkan waktu cepat berlalu, dan beranjak dari sisiku…

 

Sore itu mentari masih hampir enggan melepaskan pandangannya dari kami, aku dan seorang gadis ayu yang tak mau aku sebutkan namanya. Dia adalah aya begitu sapaan akrab yang sering terdengar ketika banyak orang memanggilnya. Ups

 

Mentari hampir terlihat jelas seperti rona wajah dari kecantikan alam yang nampak pada senyum wanita saat kau mengatakannya ayu. Suasana damai diiringi teriakan hilir mudik nelayan diperbatasan tanah dan air yang asin itu. Kali ini angin seakan mengangkatku lantaran nadanya tak kunjung aku temui, begitu kencang hingga berkali aku memperbaiki tatanan rambutku tak kunjung rapih.

 

Sang mega hampir nampak saat beberapa aku memalingkan pandanganku melihat ufuk diarah barat dari balkon lantai dua tepat dimana aku bercengkrama dengan Aya. Seperti mengungkang di atas loteng aku memainkan kedua kakiku menenangkan jantung yang tak teratur saat Aya mengajakku bicara.

 

“Mengapa kau mengajaku kesini Az?”

“Entahlah, yang aku tahu selepas tidur siang dihari ini langit terlihat cerah”

“Sepertinya itu bukan jawaban”

“Apa kau merasakan angin yang menghantarkan para nelayan itu?”

“Pertanyaanku belum dijawab Az”

“Meringankan dayung, menghantarkan para nelayan mencapai tujuan”

“Az, aku bertanya…”

“Meski merusak tatanan rambutnya”

“ih, apaan sih? Az, aku sedang bertanya sama kamu”

“Aku mencoba meraba alam, meski nampak seperti mengail di air keruh”

“…?”

“Tariklah nafas sejenak, dan rasakan”

 

“Apaan sih, gak ngerti deh”

“Mungkin sesekali kau harus memejamkan mata untuk menyapanya”

“Bete ah,…”

“Jika kau menguasai diri, maka kau akan tahu intinya”

 

“Kenapa diam? Apa kau sudah mencobanya?”

“Ih kamu tuh nyebelin banget tahu nggak sih..”

“Aku takkan memaksamu untuk mencoba, tapi itulah jawaban dari pertanyaanmu”

 

“Arrrrghhhh apaan sih, gak ada apa-apa”

“Lihatlah nyiur itu, paling kiri dari garis pantai. Lihatlah ujungnya kemudian perlahan kau lihat mercusuar di ujung kanan garis pantai itu, dan jangan sesekali kau kedipkan pandanganmu. Perlahan, dan sangat hingga kau lihat garis lurus yang membentang ditengah pandanganmu. Seolah itu adalah setengah bumi ini. Garis yang memisahkan lautan dan langit. Awan berjajar bak serdadu di medan perang, sementara sore ini mentari menampakkan keindahannya. Cobalah…”

 

Subahanallah…. betapa indah sore ini Az, mengapa aku tak menyadarinya”

“…”

“Lihatlah kicau burung itu, seakan mamanggilku untuk terbang bersamanya”

 

“Kamu benar Az, lautan itu nampak seperti terbelah atau bahkan menyatu dengan langit. Nyiur, perahu yang berlayar, mercusuar, awan, mentari dan lainnya seperti menyapaku”

“Mmmmmm”

“Sungguh indah Az, aku benar-benar merasa seperti menyatu dengan alam”

 

 

 

“Lihat deh sunset itu, ada mega merah di atasnya. Bagus banget yah, jarang loh lihat matahari pake mata telanjang… Seperti masih ingin menemani sore ini, nuansa yang sangat jarang aku temui. Terima kasih Tuhan, mengizinkan aku menikmati alam-Mu di keindahan sore”

“Aku masih mencoba menyapa alam, dan menikmati keindahan lain disaat bersamaan”

“Maksudnya???”

“Sssssssst,… lihat dengar dan rasakan”

“Apaan sih Az?”

“Sempurna”

 

“Jam berapa sekarang Aya?”

“Kenapa…?”

“Bukankah langit mulai gelap”

“Terussss…”

“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan”

“Bukankah kamu yang ngajakin aku kesini”

“Lebih tepatnya melukiskan alam”

“Lukisan apaan?”

“Eh kamu belum jawab pertanyaanku tadi”

“Akulah yang menunggu jawabmu”

“Maksudnya?”

 

“Engkau adalah sore, izinkan aku membuka mata untuk merasakannya. Aku bertanya pada setiap pandang dan sesekali aku menemukan jawab. Aku bertanya dari sejengkal sisi bahu kiri ku hingga pandang yang tak berujung. Namun hari kian gelap, mungkin bukan sore ini…”

so sweet,… dan ketika hari mulai gelap, akan kuajak engkau menjumpa bintang. Agar malam semakin indah, hingga tak perlu bagimu untuk memejamkan mata”

 

“Terima kasih Tuhan, Engkau izinkan aku melanjutkan hidup”

“Dan jangan pernah tutup matanya Tuhan”

 

“Kok tutup mata sih?”

“Emang kenapa? Gak boleh?”

“Mmmmm”

“Biar kamu selalu bisa melihat ke depan, daaaaan di depanmu selalu ada aku yang memberikanmu semangat keindahan, heheheee”

“Ngek?”
“Bukannya tadi kamu bilang gitu?”

“Heheheee,…”

“Kok heheheeee? Gag lucu ah”

“iiiiiiih, aku mengajakmu untuk tersenyum karena senyummu itu indah hehehee”

“Gomballll”

“Basah atau kering nih?”

“Mamaaaaaaaaaaaaz…………”

 

Ternyata sore telah berganti malam. Aku tak tahu malam itu malam apa? Yang aku tahu, sejak malam-malam itu aku mulai membuka lembaran baru ku. Berharap ini adalah jilid terahir dari episode perjalanan mencari Cahaya. Yang ternyata aku temui dipenghujung sore ku.

 

***

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Syariah Ekonomi Islam STAIN Purwokerto