Monthly Archives: Juni 2012

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)


Ahlussunnah waljamaah secara embrional sudah muncul pada masa para sahabat, tepatnya pasca peristiwa tahkim (arbitrase). Saat terjadi perang Shiffin pada 657 M antara ‘Ali bin Abi Tholib -Khalifah pengganti ‘Usman bin Affan- dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan -gubernur Damaskus. Peristiwa tahkim adalah permintaan damai dari panglima perang pihak Mu’awiyah, yaitu ‘Amr bin Ash. Permintaan tahkim ini kemudian diterima oleh panglima perang dari pihak ‘Ali, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Penerimaan usulan tahkim oleh pihak ‘Ali ini kemudian memunculkan kekecewaan di internal pasukan ‘Ali. Kekecewaan tersebut muncul karena pasukan ‘Ali sudah hampir memenangkan peperangan. Pasukan ‘Ali yang kecewa kemudian keluar dari pasukan ‘Ali, oleh karena itu kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan). Kelompok Khawarij ini menganggap penyelesaian konflik antara ‘Ali dan Mu’awiyah dengan cara tahkim ini adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka juga menolak hasil dari tahkim dan tidak mengakui kepemimpinan ‘Ali dan kepemimpinan Mu’awiyah. Di samping kelompok Khawarij yang anti ‘Ali dan anti Mu’awiyah, muncul juga kelompok pendukung (loyalis) ‘Ali bin Abi Thalib yaitu kelompok Syiah.
Kelompok khawarij ini kemudian menganggap ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash adalah kafir, karena telah melakukan dosa besar berupa tahkim. Tahkim yang mereka lakukan tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT. Kelompok Khawarij merujuk pada QS. Al-Maidah ayat 44, yang artinya “barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”. Kafir yang dimaksud oleh kelompok khawarij adalah keluar dari Islam (murtad), oleh karena itu menurut kelompok Khawarij ini mereka wajib dibunuh, dan pada 20 Ramadhan 40 H / 660 M ‘Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh anggota kelompok Khawarij.
Pada fase selanjutnya, terjadi perdebatan teologis tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut kelompok Khawarij, sebagaimana telah disebutkan di atas, status pelaku dosa besar adalah kafir. Sebagai reaksi terhadap doktrin kelompok Khawarij, maka muncul kelompok Murji’ah. Nama Murji’ah berasalal dari kata arja’a yang berarti menunda atau memberi pengharapan. Kelompok Murji’ah ini berpendapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar statusnya bukanlah kafir, status mereka masih mu’min. Berkaitan dengan dosa besar yang meraka lakukan, sepenuhnya diserahkan kepada Allah kelak di akhirat, jika Allah mengampuninya maka mereka masuk sorga, namun jika Allah tidak mengampuninya maka mereka masuk neraka. Kelompok Murji’ah ini yang akan menjadi embrio/ cikal bakal aliran ahlussunnah wal jama’ah.
Ahlussunnah waljamaah secara bahasa adalah para penganut sunnah (hadits) dan merupakan kelompok mayoritas. Ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat dengan Aswaja) adalah aliran teologi yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/ 875-935 M). Abu Hasan al-Asy’ari (al-Asy’ari) adalah masih keturunan sahabat Nabi SAW -sekaligus mantan panglima perang ‘Ali bin Abi Thalib- yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Pada masa pendirinya (al-Asy’ari) istilah aswaja belum dikenal. Istilah Aswaja baru mulai dikenal sebagai sebuah aliran teologi pada masa ashab al-Asy’ari (para pengikut al-Asy’ari), seperti: al-Baqilani (w. 403 H/1013 M), al-Baghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (419-478 H/1085 H), al-Ghazali (w.505 H/ 1058-1111 M), al-Syahrastani (w.403 H), dan Fakhruddin al-Razi (w.660 H). Namun demikian, mereka belum secara tegas membawa “bendera” aswaja sebagai sebuah aliran teologi. Istilah aswaja yang menyebut secara tegas sebagai sebuah aliran teologi baru dijumpai pada generasi sesudahnya, istilah aswaja dijumpai pada kitab Ittihaf Sadat Al-Muttaqin, Syarah Ihya Ulumuddin karangan al-Zabidi (w. 1205 H). Di dalam kitabnya, al-Zabidi menyebutkan bahwa “idza uthliqa ahl sunnah fa al-murad bihi al-asy’ariah wa al-maturidiyyah”, apabila disebutkan ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi. Selanjuttnya definisi ahlussunnah wal jama’ah berkembang menjadi “para pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi serta para pengikut empat madzhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”.
Munculnya aliran ahlussunnah wal jama’ah merupakan reaksi atas pemikiran kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah aliran pemikiran yang didirikan oleh Washil bin Atho (lahir pada 700 M dan meninggal pada usia 49 tahun), Washil adalah murid dari Hasan al-Basri. Washil bin Atho berbeda pendapat dengan gurunya Hasan al-Basri (yang beraliran Murji’ah) soal pelaku dosa besar. Washil bin Atho tidak sependapat dengan pendapat kaum Khawarij juga kaum Murji’ah. Menurutnya pelaku dosa besar statusnya bukan kafir juga bukan mukmin. Jika pelaku dosa besar bertobat sebelum meninggal maka dia masuk surga, namun jika dia mati sebelum sempat bertobat maka nasibnya sama seperti orang kafir yaitu masuk neraka dan tidak akan masuk surga. Washil tersebut kemudian dikenal dengan posisi di antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilataini). Selain itu dalam pemikiran Washil, Allah tidak memiliki sifat dalam artian apa yang disebut dengan sifat Allah sebenarnya bukanlah sesuatu yang memiliki wujud sendiri di luar dzat Allah, dengan kata lain sifat merupakan esensi Allah.
Pada era Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/ 752-849 M) pemikiran Mu’tazilah berkembang dan dijadikan madzhab resmi negara oleh khalifah Al-Ma’mun (memerintah 813-833 M). Menurut Abu Huzail al-Allaf akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan dan untuk mengetahui kewajiban kepada Tuhan. Akal juga mampu mengetahui tentang hal yang baik dan hal yang buruk, akal juga mengetahui kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Mu’tazilah ini memiliki kecenderungan rasional yang sangat kuat. Bahkan dalam kedudukan sumber dalam ajaran Islam, Mu’tazilah menempatkan akal pada urutan pertama, kemudian disusul oleh al-Qur’an dan Hadits. Dan all-Qur’an dalam pemikiran kaum Mu’tazilah adalah makhluk sehingga bersifat jadid (baru). Tokoh besar Mu’tazilah yang lain adalah al-Jahiz (w. 258 H), Abu Hasyim (w. 321 H), al-Murdar (w.226), al-Khayyat (w. 300 H), dan al-Jubba’i (w. 295 H).
Aliran Mu’tazilah dikenal mempunyai lima ajaran pokok, yaitu: Pertama, at-tauhid yaitu pemurnian Allah, atas dasar ajaran inilah maka Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, dan hanya mempunyai esensi. Kedua, al-‘Adl (adil) yaitu Allah adalah maha adil oleh karena Allah tidak mungkin berbuat zalim, dan yang berasal dari Allah hanyalah perbuatan-perbuatan baik. Ketiga, al-wa’du wal wa’id (janji dan ancaman), menurut mereka Allah akan melaksanakan janji baik dan ancaman-Nya, karena jika tidak dilaksanakan maka Allah akan bersifat tidak adil. Keempat, al-manzilah baina al-manzilataini (posisi di antar dua posisi). Kelima, al-amar bil ma’ruf wa an-nahi ‘anil munkar yaitu kewajiban untuk menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan jahat, atas dasar doktrin inilah maka Mu’tazilah melakukan mihnah (ujian kepercayaan) terhadap para hakim dan ulama terkemuka, termasuk imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M) yang berujung pada pemenjaraan imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Asy’ari awalnya adalah pengikut aliran Mu’tazilah, dia adalah murid dari tokoh Mu’tazilah yaitu al-Jubba’i. Dalam perjalanan intelektualnya, setelah melakukan perenungan yang mendalam al-Asy’ari akhirnya menyatakan keluar dari aliran Mu’tazilah. Setelah keluar dari Mu’tazilah, al-Asy’ari menyampaikan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan pemikiran Mu’tazilah, menurutnya Allah tetap mempunyai sifat-sifat. Al-Asy’ari menyatakan bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk, al-Qur’an juga bersifat qadim, karena ia adalah firman-Nya dan Allah telah bersabda semenjak zaman azali. Berbeda dengan kaum Qadiriyah dan Jabariyah, dalam pemikiran al-Asy’ari perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Allah, karena sejatinya manusia bukanlah pencipta, tiada pencipta selain Allah. Namun demikian, di dalam wujud perbuatannya manusia memiliki andil, meskipun andil tersebut tidak efektif. Di dalam pemikiran al-Asy’ari, andil manusia dalam mewujudkan perbuatannya disebut dengan kasab. Menurut al-Asy’ari, karena Allah berkuasa mutlak maka Allah tidak harus melaksanakan janji-janji baik dan ancaman-ancaman-Nya. Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya, itulah yang oleh al-Asy’ari disebut dengan adil. Berkenaan dengan pelaku dosa besar, al-Asy’ari sependapat dengan pendahulunya yaitu Murji’ah.
Aliran Qadariyah adalah aliran pemikiran yang berpendapat bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya. Manusia dalam pemikiran Qadariyah mempunyai kebebasan dalam kemauan dan kebebasan dalam perbuatannya. Aliran Qadariyah dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan Ghailan al-Dimasyqi (abad VII M). Berbeda dengan aliran Qadariyah, menurut aliran Jabariyah perbuatan manusia diciptakan Allah dalam diri manusia. Dalam faham Jabariyah ini, manusia tidak memiliki kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatannya. Dalam faham jabariyah, manusia tidak memiliki memiliki kebebasan, semua perbuatannya sudah ditentukan Allah semenjak zaman azali. Jadi jika ditinjau dari ekstrimitas pendapat aliran Qadariyah dan Jabariyah, maka pendapat al-Asy’ari berkaitan dengan perbuatan manusia, maka pemikirannya dalam posisi tengah (moderat).
Di samping al-Asy’ari yang ada di Bagdad, aliran Mu’tazilah juga mendapatkan penentangan dari Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M) di Samarkand. Dalam hal sifat-sifat Allah, serta pendapatnya tentang al-Qur’an, al-Maturidi sependapat dengan al-Asy’ari. Berkaitan dengan pelaku dosa besar al-Maturidi juga sependapat dengan al-Asy’ari. Tetapi berkaitan dengan perbuatan manusia, al-Maturidi berbeda pendapat dengan al-Asy’ari, menurutnya manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Dia juga berbeda pendapat dengan al-Asy’ari tentang janji dan ancaman, menurutnya janji-janji baik dan ancaman-ancaman Allah pasti terjadi kelak. Para penganut pemikiran al-Maturidi ini kemudian disebut dengan al-Maturidiyah. Tokoh-tokoh al-Maturidiyah antara lain adalah Abu al-Yusr al-bazdawi (421-493 H), dan Najm al-Din al-Nasafi (460-537 H).
Jika pada masa sejarah klasik Islam (650-1250 M), dan masa pertengahan (1250-1800 M) perdebatan antar aliran pemikiran Islam berkutat pada seputar persoalan metafisika, maka pada era modern perdebatan tersebut bergeser pada tema-tema politik. Pergeseran perdebatan ini berkaitan erat dengan kondisi di mana dunia Islam mengalami kemunduran di satu sisi dan dominasi Barat terhadap dunia Islam pada sisi yang lain. Sebagai aliran yang dianut oleh mayoritas umat Islam, pada abad ke-19 dan 20 M di internal ahlussunnah wal jama’ah ini kemudian berkembang dua kecenderungan. pertama, ada kelompok yang memiliki kecenderungan tekstual yang memunculkan faham Islam fundamental. Kedua, ada kelompok yang memiliki kecenderungan liberal. Kelompok fundalmental ini memiliki kecenderungan menutup diri dari pengaruh keilmuan Barat dan berpegang teguh pada tradisi keilmuan Islam masa lalu (generasi salafus sholih, karena itu kelompok ini juga biasa disebut dengan Salafi). Sementara kelompok memiliki kecenderungan yang kuat terhadap keilmuan Barat daripada terhadap keilmuan klasik Islam.
Pasca dihapuskannya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 M oleh Mustafa Kemal at-Tatuk, perdebatan antara kelompok fundamental dan liberal ini masuk pada tema sistem negara. Menurut kelompok fundamental bentuk pemerintahan yang Islam adalah khilafah, oleh karena itu mendirikan khilafah adalah kewajiban bagi umat Islam. Sementara menurut kelompok liberal, di dalam Islam tidak aturan baku tentang bentuk pemerintahan, oleh karena itu mendidikan kekhalifahan bukanlah kewajiban bagi umat Islam, menurut kelompok liberal ini lebih baik mengadopsi bentuk pemerintahan dari Barat yang sudah maju. Belakangan pendapat kelompok liberal tentang sistem politik tersebut dikenal dengan sekularisme. Meskipun berasal dari aliran ahlussunnah wal jama’ah, kelompok liberal ini, belakangan ada yang menyebutnya dengan neo-Mu’tazilah. Sedangkan kelompok fundamental disebut dengan sunni perfeksionis (kelompok ahlussunah pengejar kesempurnaan).
Para pendukung kelompok fundamental antara lain adalah al-Ikhwan al-Muslimun (didirikan pada 1928 M di Mesir oleh Hasan al-Bana/1906-1949 M), Jama’ati al-Islami (didirikan di anak benua India pada 1941 M oleh Abu al-A’la al-Maududi/ 1903-1979 M), dan Hizbut Tahrir (didirikan al-Quds pada1952 M oleh Taqiyuddin al-Nabhani/ 1909-1977 M). Sedangkan para pendukung kelompok liberal antara lain adalah Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963 m), Taha Husain (1889-1973 M), dan ‘Ali Abdurraziq (1888-1966 M), kesemuanya adalah intelektual Mesir.
Di samping perdebatan tentang tema seputar politik, perdebatan antara kelompok fundamentalisme dan liberal juga pada cara pendekatan terhadap teks al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok leberal memiliki kecenderungan penggunaan rasio dan konteks. Sedangkan kelompok fundamental memiliki kecenderungan menggunakan pendekatan tekstual untuk menafsirkan qu’an hadits. Dalam hal bermadzhab dalam fikih, dua kelompok ini memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama “meninggalkan madzhab”. Jika kelompok fundamental meninggalkan tradisi bermadzhab dan mengambil ajaran-ajaran Islam dari masa para sahabat dan generasi salafus shalih, maka kelompok liberal pun meninggalkan tradisi bermazdhab dan melakukan pendekatan terhadap teks qur’an dan hadits dengan dengan pendekatan keilmuan modern (Barat).
Pada era modern dimana kelompok lain seperti Mu’tazilah dan Khawarir, Qadariyah dan Jabariyah sudah tidak ada, sementara ekstrimitas justru terjadi di internal ahlussunnah (sunni), maka pencarian esensi dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah adalah hal yang sanagat penting. Jika dicermati dalam setiap fase dalam sejarahnya, ahlussunnah wal jama’ah adalah kelompok pemikiran yang menjadi respons terhadap ekstrimitas yang muncul di zamannya dan mengambil jalan pemikiran yang moderat. Oleh karena itu secara esensi ada lima sifat-sifat dasar ahlussunah wal jama’ah adalah: tawasut (mengambil jalan tengah / moderat), tawazun (bersikap netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (memiliki sikap toleran).
Oleh karena itu, jika lima sifat dasar ahlussunnah wal jama’ah tersebut diaplikasikan dalam menyikapi berbagai perdebatan yang terjadi pada era modern berkaiatan dengan tema politik, maka sikap kita adalah bukan pada posisi fundamentalisme yang menginginkan khilafah, namun juga bukan seperti sikap kelompok liberal. Sikap kita adalah menerima sistem yang telah berkembang di Barat sebagai bagian dari pengakuan perkembangan keilmuan modern, namun tetap secara kritis disesuaikan dengan berbagai nilai-nilai keislaman yang kita anut, tidak menolak mentah-mentah namun juga tidak menerima mentah-mentah. Berkaitan dengan cara pendekatan terhadap teks qur’an dan hadits, kita berbeda dengan kelompok fundamnetal dan liberal, cara pandang kita dalam pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadits adalah bukan secara tekstual (makna harfiyah) semata namun juga meilhat konteks kesejarahannya agar makna yang terkandung di dalam teks mampu tertangkap secara komprehensif.
Berkaitan sikap kita terhadap madzhab dan tradisi pemikiran klasik, sikap kita adalah menyadari bahwa pemikiran selalu terpengaruh oleh situasi sosial, budaya dan politik di mana pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang. Oleh sebab situasi sekarang berbeda dengan situaasi dimana madzhab dan pemikiran klasik tersebut dilahirkan dan dikembangkan, sementara disisi lain dalam konteks objektivikasi keilmuan kita juga menyadari bahwa sebagai produk keilmuan, madzhab dan produk pemikiran klasik juga memiliki universalitas kebenaran yang lintas waktu, maka sikap kita adalah tetap mengakui madzhab dan pemikiran klasik dengan tetap membuka kemungkinan terhadap berbagai perkembangan keilmuan modern sebagai bagaian dari dinamika keilmuan, hal ini dilakukan dalam prinsip al muhafadzatu ‘ala qadimissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Jadi, jika ada kelompok yang mengaku bahwa dia penganut faham ahlussunnah wal jama’ah namun tidak memiliki ciri-ciri tawasut, tawazun, ta’adul, dan tasamuh maka mereka bukanlah penganut faham ahlussunnah wal jama’ah.

Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya,
Wallahu a’lam bishshowab.

Daftar Pustaka
Arkoun, Mohammed & Gardet, Luis. Islam Kemarin & Hari Esok. (Bandung: Pustaka, 1997).
Ayubi, Nazih N. Political Islam; Religion and Politics in The Arab World (London: Ruotledge, 1991).
Hasan, Muhammad Thalhah. Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Jakarta: Lantabora Press, 2005).
Jabiri, Mohammed Abed al-. Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003).
Ridwan. Paradigma Politik NU: Realsi Sunni-Nu Dalam Pemikiran Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 2008).
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbaagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2008).
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986).
NU, PP. LP Ma’arif. Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010).