Monthly Archives: Juni 2013

PMII : Student Movement yang a-historis ?


-anonim-

Adagium teori sosial menyatakan, sesuatu akan tetap ada kalau dia berfungsi, kalau sampai hari ini PMII ada, maka berarti ia berfungsi. Kemudian banyak pihak menggugat, fungsi apa yang sedang dilakoni PMII? Apa sumbangsih kongkritnya bagi bangsa ini? Bagi demokrasi, pluralisme, dan kemanusiaan? Jangan-jangan PMII tak lebih sekedar wadah berekspresi dari anak muda NU yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang memang umatnya memiliki kecenderungan komunalisme, bergerombol pada organisasi yang memiliki ikatan historis dan kultural yang sangat lekat dengan NU

Tepisan bahwa PMII bukanlah lahan “reproduksi kader” bagi NU (maupun PKB), PMII adalah sebuah organisasi kemahasiswaan yang berdiri dengan segebok idealisme, nilai-nilai dan paradigma gerakan tersendiri, yang kehadirannya diabdikan untuk perjuangan tanpa henti pada terwujudnya keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan  mungkin hanya akan menjadi tanda tanya besar?.

Usaha berkali-kali untuk meyakinkan publik, bahwa PMII bukanlah “underbouw” NU, melalui berbagai statemen, landasan hukum organisasi maupun wacana dan model gerakan, hingga hari ini belum mampu juga menggoyahkan opini umum bahwa PMII itu tidak bisa dipisahkan dengan NU. Realitas ini kemudian menjadi semacam “beban kultural” PMII terutama  dalam merekrut anggota baru. Apalagi kecenderungan mahasiswa baru hari ini tidak lagi mempedulikan lagi apa itu NU, Muhammadiyah, nasionalis dan sebagainya, kecuali di beberapa daerah yang memang menjadi basis (umat) NU, Muhammadiyah ataupun lainnya.

Dus, tatkala PMII  saat ini gerakannya terpolarisasi ke dalam berbagai bentuk, dan ditingkat nasional-nya sedang mengalami fragmentasi kepentingan antar pengurus, bahkan menjadi berbilang (pecah) kepengurusannya, PMII semakin kesulitan memberikan jawaban yang pasti terhadap publik atas fungsi dan peran kesejarahannya. Lihat saja, dalam setiap perbincangan para kader PMII di semua lini organisasi selalu diwarnai dengan ketidakpuasan atas kondisi dan kinerja PMII yang semakin rigid dan gamang terhadap perkembangan kontemporer maupun sulitnya para pengurus menjawab pertanyaan kader-kader (mahasiswa) baru, semisal PMII itu sebetulnya mahkluk apa?

Hampir semua para pengurus dan aktivis PMII akan berbicara tentang sisi normatif idealistis bahwa PMII itu adalah sebuah organisasi mahasiswa pejuang demokrasi, HAM dan ke Islaman yang berkeindonesiaan dengan pola gerakan yang dilandasi paradigma kritis transformatif, bersumber dari ajaran Islam Aswaja yang lebih liberal, inklusif, tidak literal dan anti ortodoksi. Namun, ketika mereka melanjutkan pertanyaannya, apa bentuk riil (prakis) dari semua itu yang bisa dirasakan nyata seluruh umat dan banga Indonesia? Barulah kemudian para aktivis (pengurus PMII) berusaha mencari pembenar (bahkan truth claim) tentang apa yang telah PMII perjuangkan dan peran sertanya dalam membumikan sekeranjang idealisme, nilai-nilai dan paradigma PMII itu sendiri.

Apalagi jika mereka menyoal berapa jumlah kader PMII yang menjadi pejabat negara? ahli ekonomi, ahli lingkungan, iptek dan hukum? Yang terjadi selanjutnya adalah kegagapan aktivis PMII untuk menyebutkan siapa sih alumni PMII yang ahli di berbagai bidang itu? Meski hal ini tidak menjadi ukuran utama out put pergerakan kita, namun tetap saja pertanyaan seperti ini muncul dari para mahasiswa baru.

Gambaran di atas adalah sekelumit dari kegelisahan-kegelisahan kader PMII hampir di semua lini organisasi mulai dari Pengurus Besar (PB) hingga komisariat dan rayon. Belum lagi, jika PMII ditanya masalah peran kesejarahan PMII yang kongkrit disumbangkan untuk bangsa dan agama? Maka dipastikan kegelisahan ini menjadi lautan kegalauan dan kekecewaan yang menjadikan diri kita kadang-kadang gamang melihat realitas gerakan PMII itu sendiri.

Parafounding fathers PMII mendirikan organisasi ini tidak pada ruang kosong dan terpisah dari realitas sejarah. Para sahabat-sahabat kita yang lebih dahulu menjadi kader  dan pengurus PMII juga telah memberikan landasan idiil dan paradigmatik apa dan bagaimana sebenarnya PMII itu serta model gerakan apa yang akan dilahirkannya. Namun tetap saja organisasi ini dinilai oleh banyak kalangan masih saja dianggap belum begitu jelas dan bahkan akhir-akhir ini dianggap semakin kehilangan konteks dan urgensinya. Sebuah kecenderungan yang tidak boleh dibiarkan terus menggelembung menjadi kenyataan organisasi.

Beberapa tahun lampau, setidaknya pada era 1990-an, organisasi ini dinilai oleh banyak pihak sebagai organisasi mahasiswa paling dinamis, liberal dan berani. PMII dinilai sebagai salah satu motor utama anti kemapanan, pejuang demokrasi dan pembela wong cilik. Para kadernya adalah mereka-mereka yang sangat “gila wacana”. Pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, Ahmed An-Na’im, Marx, Gramsci, Tan Malaka,  Foucoult, Derrida,  hingga Che Guevara, menjadi santapan dan menu sehari-hari aktivis PMII. Hampir tidak ada aksi jalanan yang tidak menyertakan PMII, bermacam  advokasi dan kerja pemberdayaan masyarakat tertindas terjadi di berbagai daerah hingga mampu membawa organisasi ini menjadi salah satu “most wanted” rezim Orde Baru.

Realitas sosial di atas menjadi fakta tak tergugat disebabkan kemampuan PMII dengan seluruh resources yang dimilikinya mampu berdialog secara kreatif dengan konteks dan historisitas sosial saat itu, sehingga elan vital gerakan begitu tampak menggeliat dalam kerja-kerja kongkrit demokrasi, kemanusiaan dan perjuangan mewujudkan keadilan. Meskipun pada zaman ini, kekurangan di sana-sini masih terlihat, siapapun bisa menilai bahwa organisasi kader ini telah sanggup menyatukan dirinya dengan realitas historis dan menjadi anak zamannya. Antara gerakan pemikiran dan gerakan jalanan bisa berpadu, bergerak kreatif dan dinamis menjawab berbagai keruwetan dan persoalan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia. [az]

Aku menemukan potongan artikel ini di file komputerku, entah dari mana dan tulisan siapa. Tapi paling tidak cukup menarik untuk dibaca dan dikaji kebenarannya. Oleh karenanya aku publis ajah di sini…

az